Senin, 11 Juli 2011

SEJARAH BERDIRINYA NU

SEJARAH NU Ada tiga orang tokoh ulama yang
memainkan peran sangat
penting dalam proses
pendirian Jamiyyah
Nahdlatul Ulama (NU)
yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal
Jombang), Kiai Hasyim
Asy ’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan).
Mujammil Qomar, penulis
buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme
Ahlussunnah ke
Universalisme Islam ”, melukiskan peran
ketiganya sebagai berikut
Kiai Wahab sebagai
pencetus ide, Kiai Hasyim
sebagai pemegang kunci,
dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya. Tentu selain dari ketiga
tokoh ulama tersebut ,
masih ada beberapa tokoh
lainnya yang turut
memainkan peran
penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari
Pondok Pesantren
Sidogiri. Setelah meminta
restu kepada Kiai Hasyim
seputar rencana pendirian
Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk
menemui Kiai Nawawie.
Atas petunjuk dari Kiai
Hasyim pula, Kiai
Ridhwan-yang diberi
tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang
NU- juga menemui Kiai
Nawawie. Tulisan ini
mencoba mendiskripsikan
peran Kiai Wahab, Kiai
Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama
lainnya dalam proses
berdirinya NU. Keresahan Kiai Hasyim Bermula dari keresahan
batin yang melanda Kiai
Hasyim. Keresahan itu
muncul setelah Kiai Wahab
meminta saran dan
nasehatnya sehubungan dengan ide untuk
mendirikan jamiyyah /
organisasi bagi para
ulama ahlussunnah wal
jamaah. Meski memiliki
jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan
yang nantinya akan
melibatkan para kiai dari
berbagai pondok
pesantren ini, Kiai Hasyim
tak mungkin untuk mengambil keputusan
sendiri. Sebelum
melangkah, banyak hal
yang harus
dipertimbangkan, juga
masih perlu untuk meminta pendapat dan
masukan dari kiai-kiai
sepuh lainnya. Pada awalnya, ide
pembentukan jamiyyah
itu muncul dari forum
diskusi Tashwirul Afkar
yang didirikan oleh Kiai
Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi
Tashwirul Afkar yang
berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian
Kiai Wahab dan para kiai
lainnya terhadap gejolak
dan tantangan yang
dihadapi oleh umat Islam
terkait dalam bidang praktik keagamaan,
pendidikan dan politik.
Setelah peserta forum
diskusi Tashwirul Afkar
sepakat untuk
membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa
perlu meminta restu
kepada Kiai Hasyim yang
ketika itu merupakan
tokoh ulama pesantren
yag sangat berpengaruh di Jawa Timur. Setelah pertemuan
dengan Kiai Wahab itulah,
hati Kiai Hasyim resah.
Gelagat inilah yang
nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan
yang terkenal sebagai
seorang ulama yang
waskita (mukasyafah).
Dari jauh ia mengamati
dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai
Hasyim. Sebagai seorang
guru, ia tidak ingin
muridnya itu larut dalam
keresahan hati yang
berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil
kemudian memanggil
salah seorang santrinya,
As ’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal
sebagai KH. As ’ad Syamsul Arifin, Situbondo)
yang masih terhitung
cucunya sendiri. Tongkat “Musa” “Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan
dan berikan tongkat ini
kepadanya, ” titah Kiai Cholil kepada As ’ad. “Baik, Kiai,” jawab As ’ad sambil menerima tongkat itu. “Setelah membeerikan tongkat, bacakanlah ayat-
ayat berikut kepada Kiai
Hasyim, ” kata Kiai Cholil kepada As ’ad seraya membacakan surat Thaha
ayat 17-23. Allah berfirman:
”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai
musa? Berkatalah Musa :
‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya,
dan aku pukul (daun)
dengannya untuk
kambingku, dan bagiku
ada lagi keperluan yang
lain padanya ’.” Allah berfirman:
“Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat
itu, maka tiba-tiba ia
menjadi seekor ular yang
merayap dengan cepat ”, Allah berfirman:
“Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan
mengembalikannya
kepada keadaan semula,
dan kepitkanlah
tanganmu ke ketiakmu,
niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa
cacat, sebagai mukjizat
yang lain (pula), untuk
Kami perlihatkan
kepadamu sebagian dari
tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar. ” Sebagai bekal perjalanan
ke Jombang, Kiai Cholil
memberikan dua keeping
uang logam kepada
As ’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang.
Setelah berpamitan,
As ’ad segera berangkat ke Jombang untuk
menemui Kiai Hasyim.
Tongkat dari Kiai Cholil
untuk Kiai Hasyim
dipegangnya erat-erat. Meski sudah dibekali uang,
namun As ’ad memilih berjalan kaki ke Jombang.
Dua keeping uang logam
pemberian Kiai Cholil itu ia
simpan di sakunya
sebagai kenagn-
kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu
teramat berharga untuk
dibelanjakan. Sesampainya di Jombang,
As ’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim.
Kedatangan As ’ad disambut ramah oleh Kiai
Hasyim. Terlebih, As ’ad merupakan utusan khusus
gurunya, Kiai Cholil.
Setelah bertemu dengan
Kiai Hasyim, As ’ad segera menyampaikan
maksud kedatangannya,
“Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk
mengantarkan dan
menyerahkan tongkat
ini,” kata As ’ad seraya menyerahkan tongkat. Kiai Hasyim menerima
tongkat itu dengan penuh
perasaan. Terbayang
wajah gurunya yang arif,
bijak dan penuh wibawa.
Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga
terbayang dipelupuk
matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai
Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As ’ad. Kemudian As ’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23. Setelah mendengar ayat
tersebut dibacakan dan
merenungkan
kandungannya, Kiai
Hasyim menangkap
isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia
dan Kiai Wahab beserta
para kiai lainnya untuk
mendirikan Jamiyyah.
Sejak saat itu proses untuk
mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski
merasa sudah mendapat
lampu hijau dari Kiai
Cholil, Kiai Hasyim tak
serta merta mewujudkan
niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu
bermusyawarah dengan
para kiai lainnya,
terutama dengan Kiai
Nawawi Noerhasan yang
menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
Terlebih lagi, gurunya
(Kiai Cholil Bangkalan)
dahulunya pernah
mengaji kitab-kitab besar
kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda
Kiai Nawawi Noerhasan. Untuk itu, Kiai Hasyim
meminta Kiai Wahab
untuk menemui Kiai
Nawawie. Setelah
mendapat tugas itu, Kiai
Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk
menemui Kiai Nawawie.
Setibanya di sana, Kiai
Wahab segeraa menuju
kediaman Kiai Nawawie.
Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab
langsung menyampaikan
maksud kedatangannya.
Setelah mendengarkan
dengan seksama
penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan
rencana pendirian
jamiyyah, Kiai Nawawie
tidak serta merta pula
langsung mendukungnya,
melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati.
Kiai Nawawie berpesan
agar jamiyyah yang akan
berdiri itu supaya berhati-
hati dalam masalah uang.
“Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau
butuh uang, para
anggotanya harus
urunan.” Pesan Kiai Nawawi. Proses dari sejak Kiai Cholil
menyerahkan tongkat
sampai dengan
perkembangan terakhir
pembentukan jamiyyah
rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah
setahun waktu berlalu
sejak Kiai Cholil
menyerahkan tongkat
kepada Kiai Hasyim.
Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak
kunjung lahir juga.
Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil,
maskih tetap dipegang
erat-erat oleh Kiai Hasyim.
Tongkat itu tak kunjung
dilemparkannya sehingga
berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal
berguna bagi ummat
Islam. Sampai pada suatu hari,
As ’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim
dengan membawa titipan
khusus dari Kiai Cholil
Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil
untuk menyerahkan
tasbih ini,” kata As ’ad sambil menyerahkan
tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan
bacaan Ya Jabbar Ya
Qahhar setiap waktu,” tambah As ’ad. Entahlah, apa maksud di balik
pemberian tasbih dan
khasiat dari bacaan dua
Asma Allah itu. Mungkin
saja, tasbih yang
diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat
agar Kiai Hasyim lebih
memantapkan hatinya
untuk melaksanakan
niatnya mendirikan
jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa
jadi sebagai doa agar niat
mendirikan jamiyyah
tidak terhalang oleh
upaya orang-orang
dzalim yang hendak menggagalkannya. Qahhar dan Jabbar adalah
dua Asma Allah yang
memiliki arti hampir
sama. Qahhar berarti
Maha Memaksa
(kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa
dihalangi oleh siapapun)
dan Jabbar kurang lebih
memiliki arti yang sama,
tetapi adapula yang
mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa
(tidak bisa dihalangi/
dikalahkan oleh
siapapun). Dikalangan
pesantren, dua Asma Allah
ini biasanya dijadikan amalan untuk
menjatuhkan wibawa,
keberanian, dan kekuatan
musuh yang bertindak
sewenang-wenang.
Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai
Hasyim untuk mendirikan
jamiyyah semakin
mantap. Meski demikian,
sampai Kiai Cholil
meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925
M),jamiyyah yang
diidamkan masih belum
berdiri. Barulah setahun
kemudian, pada 16 Rajab
1344 H, “jabang bayi ” yang ditunggu-tunggu itu
lahir dan diberi nama
Nahdlatul Ulama (NU). Setelah para ulama
sepakat mendirikan
jamiyyah yang diberi
nama NU, Kiai Hasyim
meminta Kiai Ridhwan
Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui
proses istikharah, Kiai
Ridhwan mendapat
isyarat gambar bumi dan
bintang sembilan. Setelah
dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai
Hasyim seraya
menyerahkan lambang NU
yang telah dibuatnya.
“Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta
kamu sowan ke Kiai
Nawawi di Sidogiri untuk
meminta petunjuk lebih
lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan
membawa sketsa gambar
lambang NU, Kiai Ridhwan
menemui Kiai Nawawi di
Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat
gambar lambang NU.
Setelah saya buat
gambarnya, Kiai Hasyim
meminta saya untuk
sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih
lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya
menyerahkan gambarnya. Setelah memandang
gambar lambang NU
secara seksama, Kiai
Nawawie memberikan
saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar
bumi dan sembilan
bintang. Namun masih
perlu ditambah tali untuk
mengikatnya. ” Selain itu, Kiai Nawawie jug a
meminta supaya tali yang
mengikat gambar bumi
ikatannya dibuat longgar.
“selagi tali yang mengikat bumi itu masih
kuat, sampai kiamat pun
NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie. Bapak Spiritual Selain memiliki peran
yang sangat penting
dalam proses pendirian
NU yaitu sebgai penentu
berdirinya, sebenarnya
masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang
telah dimainkan oleh Kiai
Cholil Bangkalan. Yaitu
peran sebagai bapak
spiritual bagi warga NU.
Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak
disebut sebagai bapak
spiritual NU karena ulama
asal Bangkalan ini sangat
besar sekali andilnya
dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep
kewalian dan haul
(peringatan tahunan hari
kematian wali atau
ulama). Dalam ketiga masalah itu,
kalangan NU berkiblat
kepada Kiai Cholil
Bangkalan karena ia
dianggap berhasil dalam
menggabungkan kecenderungan fikih dan
tarekat dlam dirinya
dalam sebuah
keseimbangan yang tidak
meremehkan kedudukan
fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu
pula yang secara
cemerlang berhasil ia
padukan dalam mendidik
santri-santrinya. Selain
membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir
(eksoterik) yang sangat
ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal
1000 bait nadzam Alfiah
Ibn Malik, ia juga
menggembleng para
santrinya dengan ilmu-
ilmu batin (esoterik). Kecenderungan yang
demikian itu bukannya
tidak dimiliki oleh pendiri
NU lainnya. Tokoh lainnya
seperti Kiai Hasyim,
memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam
bidang pengajaran kitab
hadits shahih Bukhari,
namun memiliki
pandangan yang kritis
terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul.
Kiai Hasyim merupakan
murid kesayangan dari
Syaikh Mahfuzh at Tarmisi.
Syaikh Mahfuzh adalah
ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab
hadits Shahih Bukhari di
Mekkah. Syaikh Mahfuzh
diakui sebagai seorang
mata rantai (isnad) yang
sah dalam transmisi intelektual pengajaran
kitab Shahih Bukhari. Karena itu, Syaikh
Mahfuzh berhak
memberikan ijazah
kepada murid-muridnya
yang berhasil menguasai
kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya
yang mendapat ijazah
mengajar Shahih Bukhari
adalah Kiai Hasyim
Asy ’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran
kitab hadits Shahih
Bukhari ini diakui pula
oleh Kiai Cholil Bangkalan.
Di usia senjanya, gurunya
itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan
puasa) kepada Kiai
Hasyim. Ini merupakan
isyarat pengakuan Kiai
Cholil terhadap derajat
keilmuan dan integritas Kiai Hasyim. Sebagai ulama yang
otoritatif dalam bidang
hadits, Kiai Hasyim
memiliki pandangan yang
kritis terhadap
perkembangan aliran- aliran tarekat yang tidak
memiliki dasar ilmu
hadits. Ia menyesalkan
timbulnya gejala-gejala
penyimpangan tarekat
dan syariat di tengah- tengah masyarakat. Untuk
itu, ia menulis kitab al
Durar al Muntasyirah fi
Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk
praktis agar umat Islam
berhati-hati apabila
hendak memasuki dunia
tarekat. Selain kritis dalam
memandang tarekat, Kiai
Hasyim juga kritis dalam
memandang
kecenderungan kaum
Muslim yang dengan mudah menyatakan
kewalian seseorang tanpa
ukuran yang jelas dan
dapat
dipertanggungjawabkan
secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim
memberikan pernyataan
tegas: “Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi
tanpa kesaksian mengikuti
syariat Rasulullah SAW,
orang tersebut adalah
pendusta yang membuat
perkara tentang Allah SWT.” Lebih tegas beliau
menyatakan: “Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT,
orang tersebut bukanlah
wali yang sesungguhnya
melainkan hanya wali-
walian yang jelas salah
sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-
rahasia khusus) dan dia
membuat kedustaan atas
Allah Ta ’ala.” Demikian pula terhadap
masalah haul. Selain Kiai
Hasyim, para pendiri NU
lainnya seperti Kiai Wahab
dan Kiai Bisri Syansuri
juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan
mereka menolak untuk di-
haul-i (Qomar, 2002).
Akan tetapi di kalangan
NU sendiri, acara haul
telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan
sampai sekarang. Para
wali atau kiai yang
meninggal dunia, setiap
tahunnya oleh warga
nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian
kegiatan seperti ziarah
kubur, tahlil dan ceramah
agama untuk mengenang
perjuangan mereka agar
dapat dijadikan teladan dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Mengapa masalah tarekat,
konsep kewalian dan haul
yang mendapat kritikan
pedas dari Kiai Hasyim
tersebut, justru
ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU
sudah tidak lagi
mengindahkan peringatan
Kiai Hasyim? Untuk
memastikan jawabannya,
menurut Mujammil Qomar, agak sulit,
mengingat NU bisa
berkembang pesat juga
karena usaha dan
pengaruh Kiai Hasyim. Wallahu a’lam. Penulis: Moh. Syaiful Bakhri Penulis buku “Syaikhona Cholil Bangkalan:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar